Anak Mimpi.

Ku namai ia mimpi; yang ku bangunkan paling pagi, yang ku beri juang dan hati. Kepada kamu, untuk kamu, tuk jadikan kita yang nanti dan nanti.

Ada kalanya hujan basahi tanah bumi. Menciptakan wewangian petrichor yang mampu bawa angan berkelana jauh sampai tak lagi menyapa batas yang dikenal akal. Kemana kita kan pergi? Kemana lagi kita bawa mimpi tuk menari?
         
Sayang, aku mengenalmu ketika rintik kesekian jatuh dari langit yang teramat tinggi. Dari awal yang tak pertama, dari kecil di antara yang besar, dari gerimis yang menderas. Dalam proses.

Dudukku diam, memandang kamu dengan mimpi yang menari bersama hujan dari balik jendela tanpa kaca. Gerimis tak mampu menyadarkan segala lamun, dirimu itu dominasi, dengan ‘mereka’ yang turut mengikuti — menari.

Sayang, terkadang mimpi serupa bayang pada genang di jalanan — yang hanya diam menatap kembali, mengabaikan nyata yang berteriak bahagia. Aku harap waktu mampu membuat kaki mimpi kita menapak berlari di atas genang sebagai suatu wujud bersama nyata, nanti.              

Sayang, percayalah, bahwa dengan hati, tak ingin ku tempatkan rintik mimpi pada hampar genang jalanan. Karna inginku ia menjadi pun terpantau; tak hilang.
                                                
Semoga nantinya mimpi tak pulang kebasahan. Semoga nantinya jelma utopia adalah hal terjauh yang tak mampu kejar anak mimpi kita.

Dari aku yang mencintaimu,
Adzhani,

Untuk Deddy Ramadhani, dalam @DuetPuisi.

Leave a comment