Lelaki N II

Ini lorong yang gelap dan tak memiliki ujung sepanjang pengelihatanku. Belum lagi kamu yang di sisi kanan menelungkupkan mukanya di bahuku sambil menangis tersedu sedan dan menambah muram suasana. Tangan kiri kita yang bergenggam erat dan air mata mu yang membasahi sela jemari tangan kananku yang berada di pipimu membuat suasana semakin membingungkan. Bahwa ini…

Dulu

Dulu, aku pernah bermimpi, pun selalu bermimpi. Tentang betapa bahagia dan bangga; berpijak pada yang agung dengan segala cinta. Dulu, aku pernah bermimpi, pun selalu bermimpi. Tentang tak adanya duka, pun sekadar yang nelangsa. Apalagi kecewa. Dulu, aku berusaha sebisa mimpiku dapat diusahakan. Dengan segala juang yang masih terkenang mengambang dalam angan. Tentang segala rasa…

Serupa Tuan.

Tuan ingin dengar ceritaku pada senja kala itu? Ini bukan sekadar mentari yang mengantuk dan jarak yang mengental tanpa cahayanya. Atau tentang sepi yang menggonggong memekakan malam yang sunyi sedia. Tuan ingin dengar ceritaku pada senja kala itu? Tentang mimpi yang tersedak rindu. Sederhana yang pilu. Kala itu, ia menyebut kamu, Tuan, sebelum nafas hilang…

Anak Mimpi.

Ku namai ia mimpi; yang ku bangunkan paling pagi, yang ku beri juang dan hati. Kepada kamu, untuk kamu, tuk jadikan kita yang nanti dan nanti. Ada kalanya hujan basahi tanah bumi. Menciptakan wewangian petrichor yang mampu bawa angan berkelana jauh sampai tak lagi menyapa batas yang dikenal akal. Kemana kita kan pergi? Kemana lagi…

Sebelum Terlambat.

Bangun, sayang. Seharusnya cerah senyummu tiba tepat pada waktunya. Jangan malas, nanti terlambat. Bangunlah sayang, aku sudah siapkan sarapan untuk kita; secangkir rindu dan sepiring kenangan. Semoga harimu lancar, ya.       …       Sudah sejak siang kamu bermain. Tak bermain dengan perasaan kan? Jangan ya, sebelum terlambat, ku katakan ini padamu….